Jumat, 30 Maret 2012

Good Governance : Cita dalam Parlemen
Oleh Mega Ardianni


Parlemen merupakan sub sistem yang penting bagi suatu pemerintahan. Parlemen mempunyai tugas penting selain sebagai wakil rakyat yang mempunyai tugas  merancang peraturan – peraturan yang akan diterapkan di negaranya serta sebagai pengontrol agar terciptanya check and balance. Namun pada saat ini pandangan rakyat terhadap parlemen sebagai wakilnya sudah bertolak belakang. Pada kenyataannya banyak pihak yang tidak menyukai kinerja parlemen yang dianggap sudah melalaikan amanat yang diembannya. Rakyat rindu akan wakil rakyat (parlemen) yang ideal. Lalu parlemen yang ideal seperti apa? Ini masih diperdebatkan oleh semua pihak, banyak kriteria yang dapat memenuhi sebagai parlemen yang ideal.
Parlemen yang ideal adalah menganut prinsip Good Governance dalam menjalankan amanat dan tugasnya. Konsep Good Governance adalah melihat kegiatan, proses atau kualitasnya, bukan tentang strukturnya, tetapi kebijakan yang dibuat dan efektivitas penerapan kebijakan tersebut. Governance ini melibatkan relasi antara berbagai kekuatan dalam negara, yakni pemerintah (state), civil society, economic society dan political society.
Model pengukuran indikator Good Governance yang dikembangkan oleh BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) yang meliputi 14 prinsip tata pemerintahan yang baik , yakni : 1) wawasan kedepan (visionary); 2) keterbukaan dan transparansi (openness and transparency); 3) partisipasi masyarakat (patricipation); 4) tanggung gugat (accountability); 5) supremasi hukum (rule of law); 6) demokrasi (democracy); 7) profesionalisme dan kompetensi (profesionalism and competency); 8) daya tanggap (responsiveness); 9) keefesienan dan keefektifan (efficiency and effectiveness); 10) Desentralisasi (decentralization); 11) kemitraan dengan dunia usaha swasta dan masyarakat (private sector and civil society partnership); 12) komitmen pada pengurangan kesenjangan (commitment to reduce inequality); 13) komitmen pada perlindungan lingkungan hidup (commitment to environmental protection); 14) komitmen pada pasar yang fair (commitment to fair market) .1]
Prinsip yang dikembangkan oleh BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) untuk mencapai Good Governance sebenarnya sudah sangat baik. Namun pada kenyataannya, beberapa bahkan mungkin semua prinsip dalam Good Governance belum bisa diterapkan seutuhnya seperti yang diharapkan. Perlu diingat, parlemen ( DPRD,DPD, DPR–RI ) di Indonesia dipilih secara langsung, one man one vote. Bahkan di Negara Amerika Serikat pun tidak demikian, mereka masih ada lembaga electoral college yang menetukan hasil akhir pemilihan umum. Namun lihat saja prilaku wakil rakyat yang dipilih secara langsung oleh rakyatnya, dari mulai yang tertidur saat sidang , ricuh saat pengambilan keputusan hingga menonton hal – hal yang tidak penting. Ironi memang, semua ini jauh dari kalimat parlemen yang menganut prinsip  Good Governance.
Bagaimana agar prinsip Good Governance dapat ditegakkan dalam parlemen? Hal pertama yang harus dilakukan adalah kembali kepada dasar pekerjaannya yaitu sebagai wakil rakyat yang menghubungkan aspirasi rakyat terhadap pemerintah. Wakil rakyat yang harus melayani bukan dilayani, jikalau melayani pun hanya melayani partai politik yang menjadi kendaraannya sebagai wakil rakyat. Sebagai wakil rakyat, seharusnya dikenal oleh rakyatnya. Namun pada kenyataannya, rakyat bahkan tidak tahu siapa dan bagaimana wakil rakyat yang mereka pilih. Selain itu, parlemen harus mengerti fungsi dan tujuannya yaitu salah satunya adalah check and balance kinerja para pemerintah, hal ini mutlak adanya untuk mencegah penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah dan juga untuk mencegah kesenjangan antara pemerintah dengan rakyatnya. Namun lagi – lagi pada kenyataannya, parlemen tidak melaksanakan prinsip Good Governance. Sebagai faktanya, terlihat sekali kesenjangan terutama rakyat dalam kondisi sosial-ekonomi menengah ke bawah, mereka sudah memandang negatif prilaku dan kebijakan yang dibuat oleh parlemen. Mereka mulai tidak percaya karena keterbukaan , transparansi, dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat tidak terlihat.
Pada prinsip keefesienan dan keefektifan  (effeciency and effectiveness) adalah yang paling terlihat dalam tubuh parlemen.
1] Terdapat dalam makalah yang disampaikan pada kuliah umum dengan tema “ Optimalisasi Good Governance sebagai pilar pemerintahan yang berhasil ”. Sabtu, 08 oktober 2011, FISIP Universitas Padjadjaran
Peraturan yang dibuat hendaklah benar - benar untuk kesejahteraan rakyat bukan hanya untuk kesejahteraan rakyat sepihak. Ini berarti tidak merugikan rakyat, sebagai contoh tidak efesien dan efektifnya peraturan tersebut terdapat pada kasus Prita Nulyasari yang dijerat Undang – undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) pasal 27 ayat 3. Seharusnya peraturan yang dibuat benar – benar efektif dan efesien agar tidak perlu mengamandemen peraturan yang telah dibuat, karena merugikan yang menjalankan maupun yang terikat pada peraturan tersebut. Sistem pencabutan sebagai wakil rakyat seharusnya diberlakukan, artinya rakyat tidak hanya bisa memilih wakilnya, namun dapat memberhentikan wakil yang telah dipilih jikalau mereka tidak mengemban amanat dan tugasnya secara baik tanpa harus menunggu masa jabatannya berakhir.
Jadi, wakil rakyat (parlemen) yang sudah diembankan amanat yang besar hendaknya melaksanakan tugasnya berdasarkan prinsip Good Governance. Karena tidak dipungkiri, jikalau parlemen itu sangat dibutuhkan oleh rakyat sebagai wakilnya. Parlemen harus menjadi penyeimbang agar kesenjangan antara rakyat dan pemerintah  tidak terjadi dan yang paling penting merubah paradigma rakyat tentang parlemen yang buruk kembali menjadi parlemen yang ideal dalam mengemban amanat serta tugasnya.