Good Governance : Cita dalam Parlemen
Oleh Mega
Ardianni
Parlemen
merupakan sub sistem yang penting bagi suatu pemerintahan. Parlemen mempunyai
tugas penting selain sebagai wakil rakyat yang mempunyai tugas merancang peraturan – peraturan yang akan diterapkan
di negaranya serta sebagai pengontrol agar terciptanya check and balance. Namun pada saat ini pandangan rakyat terhadap parlemen
sebagai wakilnya sudah bertolak belakang. Pada kenyataannya banyak pihak yang
tidak menyukai kinerja parlemen yang dianggap sudah melalaikan amanat yang
diembannya. Rakyat rindu akan wakil rakyat (parlemen) yang ideal. Lalu parlemen
yang ideal seperti apa? Ini masih diperdebatkan oleh semua pihak, banyak
kriteria yang dapat memenuhi sebagai parlemen yang ideal.
Parlemen
yang ideal adalah menganut prinsip Good
Governance dalam menjalankan amanat dan tugasnya. Konsep Good Governance adalah melihat kegiatan,
proses atau kualitasnya, bukan tentang strukturnya, tetapi kebijakan yang
dibuat dan efektivitas penerapan kebijakan tersebut. Governance ini melibatkan relasi antara berbagai kekuatan dalam
negara, yakni pemerintah (state), civil society, economic society dan
political society.
Model
pengukuran indikator Good Governance
yang dikembangkan oleh BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) yang
meliputi 14 prinsip tata pemerintahan yang baik , yakni : 1) wawasan kedepan (visionary); 2) keterbukaan dan
transparansi (openness and transparency);
3) partisipasi masyarakat (patricipation);
4) tanggung gugat (accountability);
5) supremasi hukum (rule of law); 6)
demokrasi (democracy); 7)
profesionalisme dan kompetensi (profesionalism
and competency); 8) daya tanggap (responsiveness);
9) keefesienan dan keefektifan (efficiency
and effectiveness); 10) Desentralisasi (decentralization);
11) kemitraan dengan dunia usaha swasta dan masyarakat (private sector and civil society partnership); 12) komitmen pada
pengurangan kesenjangan (commitment to
reduce inequality); 13) komitmen pada perlindungan lingkungan hidup (commitment to environmental protection);
14) komitmen pada pasar yang fair (commitment to fair market) .1]
Prinsip
yang dikembangkan oleh BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) untuk
mencapai Good Governance sebenarnya
sudah sangat baik. Namun pada kenyataannya, beberapa bahkan mungkin semua
prinsip dalam Good Governance belum
bisa diterapkan seutuhnya seperti yang diharapkan. Perlu diingat, parlemen ( DPRD,DPD,
DPR–RI ) di Indonesia dipilih secara langsung, one man one vote. Bahkan di Negara Amerika Serikat pun tidak
demikian, mereka masih ada lembaga electoral
college yang menetukan hasil akhir pemilihan umum. Namun lihat saja prilaku
wakil rakyat yang dipilih secara langsung oleh rakyatnya, dari mulai yang
tertidur saat sidang , ricuh saat pengambilan keputusan hingga menonton hal –
hal yang tidak penting. Ironi memang, semua ini jauh dari kalimat parlemen yang
menganut prinsip Good Governance.
Bagaimana
agar prinsip Good Governance dapat
ditegakkan dalam parlemen? Hal pertama yang harus dilakukan adalah kembali
kepada dasar pekerjaannya yaitu sebagai wakil rakyat yang menghubungkan aspirasi
rakyat terhadap pemerintah. Wakil rakyat yang harus melayani bukan dilayani,
jikalau melayani pun hanya melayani partai politik yang menjadi kendaraannya
sebagai wakil rakyat. Sebagai wakil rakyat, seharusnya dikenal oleh rakyatnya.
Namun pada kenyataannya, rakyat bahkan tidak tahu siapa dan bagaimana wakil
rakyat yang mereka pilih. Selain itu, parlemen harus mengerti fungsi dan
tujuannya yaitu salah satunya adalah check
and balance kinerja para pemerintah, hal ini mutlak adanya untuk mencegah
penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah dan juga untuk mencegah kesenjangan
antara pemerintah dengan rakyatnya. Namun lagi – lagi pada kenyataannya,
parlemen tidak melaksanakan prinsip Good
Governance. Sebagai faktanya, terlihat sekali kesenjangan terutama rakyat
dalam kondisi sosial-ekonomi menengah ke bawah, mereka sudah memandang negatif
prilaku dan kebijakan yang dibuat oleh parlemen. Mereka mulai tidak percaya
karena keterbukaan , transparansi, dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat
tidak terlihat.
1]
Terdapat
dalam makalah yang disampaikan pada kuliah umum dengan tema “ Optimalisasi Good
Governance sebagai pilar pemerintahan yang berhasil ”. Sabtu, 08 oktober 2011,
FISIP Universitas Padjadjaran
Peraturan
yang dibuat hendaklah benar - benar untuk kesejahteraan rakyat bukan hanya
untuk kesejahteraan rakyat sepihak. Ini berarti tidak merugikan rakyat, sebagai
contoh tidak efesien dan efektifnya peraturan tersebut terdapat pada kasus
Prita Nulyasari yang dijerat Undang – undang Informasi Transaksi Elektronik (UU
ITE) pasal 27 ayat 3. Seharusnya peraturan yang dibuat benar – benar efektif
dan efesien agar tidak perlu mengamandemen peraturan yang telah dibuat, karena merugikan
yang menjalankan maupun yang terikat pada peraturan tersebut. Sistem pencabutan
sebagai wakil rakyat seharusnya diberlakukan, artinya rakyat tidak hanya bisa
memilih wakilnya, namun dapat memberhentikan wakil yang telah dipilih jikalau
mereka tidak mengemban amanat dan tugasnya secara baik tanpa harus menunggu
masa jabatannya berakhir.
Jadi, wakil
rakyat (parlemen) yang sudah diembankan amanat yang besar hendaknya
melaksanakan tugasnya berdasarkan prinsip Good
Governance. Karena tidak dipungkiri, jikalau parlemen itu sangat dibutuhkan
oleh rakyat sebagai wakilnya. Parlemen harus menjadi penyeimbang agar
kesenjangan antara rakyat dan pemerintah
tidak terjadi dan yang paling penting merubah paradigma rakyat tentang
parlemen yang buruk kembali menjadi parlemen yang ideal dalam mengemban amanat
serta tugasnya.